Blog ini memuat seputar pengetahuan islam dan umum

Selasa, 22 September 2009

Hukum-hukum Tentang mengurus jenazah (Mayat)

Seorang yang telah tampak padanya tanda-tanda mati (sekarat) diwajibkan menunaikan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain serta hak-hak manusia seperti melunaskan utang dan mengembalikan amanat kepada para pemiliknya. Jika dia tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban itu, maka dia wajib memberikan wasiat.

Hukum Mayat

1. Di saat sakratul maut.
Di saat seorang sedang sakratul maut diwajibkan dipalingkan ke arah kiblat, dengan cara terlentang di atas punggungnya yang jika dia duduk maka posisinya menghadap kiblat. Memalingkan mayat ke arah kiblat hukumnya fardhu kifayah.
2. Memandikan mayat.
- Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah (mayat anak-anak atau dewasa) kecuali :
a. Bayi keguguran yang belum berusia empat bulan. Bayi ini tidak wajib dimandikan tetapi cukup dibalut dengan kain lalu dikuburkan. Adapun jika sudah berusia empat bulan maka mayat bayi dimandikan, dikafani, dan dikuburkan.
b. Seorang syahid yang dibunuh demi membela Islam, tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dikafani. Dia cukup dikuburkan dengan bajunya. Gugurnya kewajiban mandi dan kafan bila seorang syahid mati di tengah berkecamuknya perang.

Syarat-syarat Orang yang Memandikan

1. Baligh
2. Berakal
3. Beriman
4. Sesama jenis kelamin antara yang memandikan dengan yang dimandikan kecuali :
    a. Anak kecil yang usianya belum lebih dari tiga tahun.
    b. Suami – isteri. Masing-masing boleh memandikan yang lain.
    c. Mahram. Jika tidak ada orang yang sejenis kelamin dengan mayat, maka saudara mahramnya boleh memandikannya.

Cara Memandikan Mayat

1. Menghilangkan benda-benda najis dari badan mayat.
2. Dimandikan tiga kali : pertama, dimadikan dengan air yang dicampuri daun bidara (sidr), kemudian dimandikan dengan air yang dicampuri kapur barus dan terakhir dimandikan dengan air murni.
Adapun cara memandikannya dengan tiga macam air tersebut sama dengan cara mandi junub, yaitu terlebih dahulu membasuh kepala dan lehernya, kemudian membasuh badan sebelah kanan (yakni badan bagian kanan dari pusar ke samping kanan dan dari leher sampai ke kaki) dan membasuh badan sebelah kiri.

Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Memandikan Mayat

1. Jika kesulitan (berhalangan) mendapatkan daun bidara atau kapur barus atau keduanya, maka ada beberapa gambaran. Pertama, [bila] yang tidak ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan air murni sebagai ganti air yang dicampuri daun bidara, kemudian dimandikan dengan air yang dicampuri kapur barus dan dimandikan dengan air murni. Kedua, [bila] yang tidak ada adalah kapur barus, maka dimandikan dengan air yang dicampuri daun bidara, kemudian dengan air murni sebagai ganti air yang dicampuri dengan kapur barus dan dimandikan dengan air murni. Ketiga, [bila] yang tidak ada adalah keduanya ( daun bidara dan kapur barus), maka dimandikan tiga kali dengan air murni semuanya.

2. Jika tidak ada air untuk memandikan mayat, maka ditayammumi sebanyak tiga kali sebagai ganti ketiga mandi tersebut. Mayat yang terluka atau terbakar boleh ditayammumi jika memandikannya akan menyebabkan kulitnya terkelupas.

3. Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk satu kali mandi saja, maka jika yang ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan air yang dicampuri daun bidara, kemudian ditayammumi dua kali sebagai ganti mandi dengan air campuran kapur barus dan mandi dengan air murni. Dan jika daun bidara tidak ada, maka dimandikan dengan air murni sebagai ganti air yang dicampur dengan daun bidara, dan kemudian ditayammumi dua kali sebagai ganti air campuran kapur barus dan air murni.

4. Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk dua kali mandi saja, maka ada beberapa gambaran:
   Pertama, jika yang ada adalah daun bidara saja, maka dimandikan dengan air daun bidara kemudian dengan air murni sebagai ganti air campuran kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti air murni.
  Kedua, Jika yang ada adalah kapur barus saja, maka dimandikan dengan air murni sebagai ganti air campuran daun bidara, kemudian dimandikan dengan air kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi dengan air murni.
  Ketiga, Jika daun bidara dan kapur barus ada, maka dimandikan dengan air yang dicampur daun bidara dan air yang dicampur kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi dengan air murni.

Mengkafani Mayat

1. Cara Mengkafani Mayat : Mengkafani mayat hukumnya fardhu kifayah dan kafan harus terdiri dari tiga helai kain ; mi'zar ( kain yang menutupi antara pusar dan lutut), qomish ( kain yang menutupi antara dua bahu sampai betis ) dan izar ( kain yang menutupi seluruh badan ).

2. Syarat-syarat kain kafan : a. Kain yang mubah ( tidak boleh menggunakan kain milik orang lain kecuali kalau diizinkan), b. Kain yang suci ( tidak boleh menggunakan kain yang terkena najis atau terbuat dari barang najis, seperti kulit bangkai ), c. Kain kafan tidak terbuat dari sutra, walaupun mayat itu wanita atau anak kecil, d. Kain kafan tidak terbuat kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya.

Tahnith Mayat

Men-tahnith mayat hukumnya fardhu kifayah, baik mayat itu anak kecil atau besar. Tahnith mayat dilakukan setelah memandikan.
Tahnith adalah mengusapkan kapur barus di tujuh anggota sujud ( dahi, perut kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ibu jari telapak kaki ).

Menshalati Mayat

Menshalati mayat muslim hukumnya fardhu kifayah dan tidak boleh menshalati mayat kafir.
a. Cara Shalat Mayat adalah setelah niat bertakbir lima kali; setelah takbir pertama mengucapkan dua kalimat syahadat; Setelah takbir kedua membaca shalawat; Setelah takbir ketiga mendoakan kaum muslimin dan muslimat, dan mukminin dan mukminat; Setelah takbir keempat mendoakan mayat; dan kemudian takbir kelima sebagai penutup shalat.

b. Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak ada azan, iqamat, ruku', sujud, tasyahhud dan salam.

Syarat-syarat Shalat Mayat.

1. Niat.
2. Menentukan mayat yang akan dishalati, misalnya shalat mayat ini.
3. Menghadap kiblat.
4. Shalat sambil berdiri
5. Meletakan mayat didepan orang yang shalat dengan posisi terlentang di atas punggungnya dan kepala mayat terletak di sebelah kanan orang yang shalat.
6. Antara orang yang shalat dengan mayat tidak ada penghalang.
7. Jarak antara orang yang shalat dengan mayat tidak terlalu jauh.
8. Salah satu diantara keduanya tidak lebih tinggi posisinya atau lebih rendah.
9. Shalat dilakukan setelah memandikan, mengkafani dan men-tahnith.
Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak disyaratkan suci dari hadas (berwudhu).

Menguburkan Mayat

Menguburkan mayat muslim hukumnya fardhu kifayah. Caranya adalah meletakan badannya di dalam lubang kubur sambil menghadap kiblat dengan berbaring di atas samping kanan dan kemudian menutupinya dengan tanah sehingga aman dari binatang buas dan baunya tidak tercium oleh manusia.

Shalat Jenazah

Shalat jenaza hukumnya wajib kifayah bagi setiap muslim. Apabila telah ada seorang muslim yang melakukan shalat jenazah untuknya, maka gugurlah kewajiban itu menshalatinya bagi yang lain. Shalat jenazah harus dilakukan dengan niat qurbatan ilallah (mendekatkan diri pada Allah).

Tata Cara Shalat Jenazah

Shalat jenazah terdiri dari lima takbir. Pelaksanaannya, setelah takbir pertama bacalah dua kalimat syahadat. Setelah takbir kedua, bacalah shalawat kepada Rasulullah Saww. Setelah takbir ketiga bacalah doa untuk kaum muslimin. Setelah takbir keempat, bacalah doa khusus  untuk jenazah, kemudian bacalah takbir kelima sebagai penutup shalat jenazah.
Secara ringkas, cara pelaksanaan shalat jenazah tersebut adalah:
Setelah niat dan menentukan (nama dan jenis kelamin) jenazah yang akan dishalatkannya, maka lakukanlah serangkaian bacaan dan amalan berikut ini,
Takbir pertama,
(اللهُ أکْبَرُ) اَشْهَدُ أَنْ لا اِلهَ اِلاّ الله وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ
(Allah Mahabesar),aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Takbir kedua,
(اللهُ أکْبَرُ) اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلی مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ
(Allah Mahabesar), ya Allah, curahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad Saww. dan keluarga Muhammad.
Takbir Ketiga,
(اللهُ أکْبَرُ) اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُؤمِنَاتِ
(Allah Mahabesar), Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan kaum mukmini laki-laki dan kaum mukmin perempuan.
Takbir Kempat,
(اللهُ أکْبَرُ) اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِهَذا الْمَيِّتِ
(Allah Mahabesar), Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.
Takbir kelima, "Allahu Akbar" dan selesailah shalat jenazah tersebut.

Hukum-hukum Menguburkan Mayat

1. Hukum menguburkan mayat Muslim adalah wajib kifayah.
Yang dimaksud menguburkan ialah menyembunyikan mayat di dalam lubang tanah. Oleh karena itu, menyembunyikannya di dalam tumpukan tanah tidak sah. Lubang kubur itu hendaknya dapat menjaga jasad mayat dari binatang buas dan baunya tidak menyebar ke luar.
2. Mayat yang mati di lautan, jika tidak bisa diantar ke daratan, maka setelah dimandikan, dikafani dan dishalati, diletakkan di atas papan yang dibebani barang yang berat kemudian dibuang ke laut.
3. Posisi mayat ketika dikuburkan menghadap kiblat, yakni membaringkannya ke sebelah kanan.
4. Biaya penguburan diambil dari uang warisan sebelum dibagikan.
5. Anggota tubuh mayat yang terpisah hendaknya dikuburkan bersama dalam satu lubang.
6. Jika seseorang mati di dalam sumur dan tidak bisa dikeluarkan, juga tidak bisa dipalingkan ke kiblat, maka dibiarkan di dalam sumur saja, lalu sumur itu ditutup sehingga menjadi kuburannya.
7. Menguburkan mayat tidak boleh di tanah milik orang lain.
8. Mayat kafir tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin. Demikian pula tidak boleh menguburkan mayat Muslim di pekuburan kaum kafir.

Hal-hal yang Disunahkan dalam Penguburan.

1. Kedalaman kuburan sesuai dengan tinggi badan si mayat.
2. Membuat lubang lahad di tanah yang keras (yaitu membuat lubang seukuran mayat di dinding kuburan yang mengarah ke kiblat) atau syaq di tanah yang lentur (membuat lubang seukuran mayat di dalam lubang kuburan).
3. Sebelum dikuburkan di dalam kuburan, mayat laki-laki hendaknya diletakkan pada arah kakinya, sedangkan mayat perempuan pada arah kiblat.
4. Hendaknya mayat dikuburkan tidak sekaligus.
5. Ikatan-ikatan kain kafan dilepas setelah diletakkan di dalam kuburan.
6. Bagian mukanya dibuka dan pipinya menempel ke tanah dan punggungnya disanggah dengan bantal dari tanah agar tidak terlentang badannya.
7. Orang yang turun ke bawah kuburan hendaknya bersuci, kepalanya terbuka dan kancingnya terbuka.
8. Selain keluarga yang muhrim hendaknya melemparkan dengan punggung telapak tangannya.
9. Mentalqininya dengan akidah-akidah yang hak setelah diletakkan di dalam kuburan dan sebelum diuruk.
10. Meninggikan kuburan setinggi empat jari rapat atau renggang.
11. Mencipratkan air di atas kuburannya dari kepala sampai kaki.
12. Meletakkan tangan di atas kuburan dengan merenggangkan jari-jari sambil menekan, dan membacakan surah Al-Qadr tujuh kali serta memintakan ampun untuknya.


catatan:

untuk lebih jelasnya tentang cara memandikan jenazah, anda bisa klik disini untuk mendapatkan animasinya dalam bentuk flash animasi


semoga bermanfaat

Minggu, 20 September 2009

Menentukan Awal Ramadhan & Syawal


Menjelang ramadhan, mungkin ada yang bertanya, kenapa sering sekali umat islam berselisih paham tentang penentuan awal ramadhan/syawal? Padahal dengan teknologi yang ada saat ini harusnya perhitungan posisi bulan sudah sangat akurat?



Allah berfiman dalam Al Baqarah : 185
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.



Dari ayat di atas disimpulkan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan dari awal sampai akhir bulan dengan penentuan awal puasa melalui cara-cara:
  1. Ru'yah al-Hilah, atau melalui melihat hilal (bulan) baik Ramadhan maupun Syawal. jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa. Jika ru'yah bulan Syawal telah ditetapkan, maka wajib tidak berpuasa (berbuka).

  2. Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari, Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yah al-Hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..."
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadist:
  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: " Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya..." (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.". (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).

Jadi secara syariat, diwajibkan berpuasa setelah melihat hilal (ru'yah al hilal). Permasalahannya muncul perbedaan pemahaman akan cara melihat hilal dan perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal) sehingga bisa saja menimbulkan berbagai perbedaan penentuan hari. Tapi OK lah saya jelaskan satu persatu biar jelas permasalahannya dan kita sendiri pun tidak menjadi awam.

Cara melihat Hilal
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:
  1. Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpulan orang banyak.
  2. Ada yang berpendapat untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh orang muslim yang adil.
  3. Juga ada yang berpendapat , untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
Pendapat yang kuat adalah untuk menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerimana kesaksian ru'yatul hilal ini disyariatkan agar yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan dapat dipercaya beritanya atas amamat dan penglihatannya. Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila). Demikian juga kesaksian orang kafir, tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui, "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah Allah." orang yang tidak dipercaya beritanya, karena sudah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan yang lemah, yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.

Perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal) Dan Pengaruhnya Pada Hukum Wajib (1 Ramadhan) Puasa dan Hari Raya (1 Syawal)
Secara garis besar ada 4 perbedaan pendapat:

1. Jumhur Ulama, di antara mereka Imam Ahmad dan Abu Hanifah: Mengatakan bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum Muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa pada 1 Ramadhan atau berbuka pada 1 syawal.
Mereka berdalil:
a. Al-Qur’an, Surat al-Baqarah: 185

b. Sabda Rasulullah:
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122)

c. Hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)

d. Adapun hadits Kuraib yang ada di dalam Shahih Muslim, 3/126 mereka mengatakan bahwa yang demikian adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap hadits tersebut (HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122). Sementara pada dasarnya Khithab yang terdapat dalam hadits tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh kaum Muslimin bukan sebagian dari mereka

e. Sudah dapat dimaklumi bahwa yang dimaksud dalam dalil-dalil di atas bukanlah ru’yah setiap orang (di setiap daerah) karena yang demikian tentunya kadang-kadang terhalang oleh sesuatu, namun ru’yah siapa saja yang dapat menetapkan awal bulan Ramadhan atau syawal dan ini umum bagi seluruh tempat.

f. Pendapat yang pertama inilah yang pada asalnya dipilih oleh sebagian besar ulama’ antara lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam asy-Syaukani, Syaikh al-Albaniy, dan ulama’ lainnya (Lihat, Syarah al-Mumti’, 4/322 dan Fiqun Nawazil, Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid, 2/222-223; Majmu’ Fatawa, 25/105; Nailul Authar, 4/203-210; Silsilah ahl-Ahaduts ash-Shohihah, 4/235).

Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi, yaitu bahwa mathla (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada. Dan pendapat ini yang selaras dengan ka’idah umum syari’at yang menganjurkan kaum Muslimin agar bersatu dan tidak terpecah-pecah.

2. Kebanyakan ulama’ asy-Syafi’iyah, mengatakan setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Mereka beralasan bahwa subyek hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) bersifat nisbi (relatif).

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa perintah berpuasa dan berbuka diperuntukkan kepada orang yang mengetahui hilal di daerahnya sendiri, adapun bagi orang yang tidak mendapati hilal di daerahnya sendiri (negara), maka yang demikian tidak berlaku. Hal ini didasarkan atas dalil naql, dan akal secara perhitungan hisab.

Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.

Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk'yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika. Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16 farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142).

3. Pendapat Ketiga, mengatakan apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negera lainnya, maka masing-masing negara memiliki ru’yah hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri sendiri. Dan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan ru’yah hilal tempat yang lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teretorial negara, sehingga di mana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negara yang berdekatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni, 4/328.

Namun demikian ulama’ yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Dan ada yang mengatakan apabila berita terlihat hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga, dan pendapat lainnya.

Mereka berdalil:
a. Mereka juga berdalil dengan ayat yang sama sebagaimana yang dipakai dasar oleh pendapat yang pertama (QS. al-Baqarah: 185). Dan pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan ru’yahnya setiap orang, namun yang dimaksudkan adalah tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap tempat yang mathla’ hilalnya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilanya berbeda maka dalil ini tidak bisa dipakai patokan baik secara dhahir (hakekatnya) atau hukumnya.

b. Adapun hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) mengandung maksud bahwa setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya tidak sama dengan orang yang melihat hilal maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa tidak berlaku baginya.

c. Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu bulan seperti penentuan waktu hari, maka ketika suatu daerah tertentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam suatu hari maka pada saat itu juga wajib berbeda dalam saat berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya, dan pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak yang kain, dan dengan demikian barangsiapa yang tinggal di bagian timur maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di saerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.

Maka dalam kondisi yang demikian jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulanpun harus demikian.

Dan dalam masalah ini tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ayat yang mengatakan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa." (QS. 2:187) dan hadits Nabi yang menyatakan, ‘ …..Apabila matahari telah terbenam maka seorang yang berpuasa berbuka.” (Lihat, HR. al-Bukhari, no. 1954 dan Muslim, no. 1100) adalah umum untuk semua kaum Muslimin di mana saja dia berada. (Lihat, Fatawa U;ama a’=Balad al-Haram, hal. 285-286

d. Mereka juga berdalil denga hadits Kuraib, yang di utus oleh Ummu Fadhl binti al-Harits untuk menemui Mu’awiyah. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah al-Fadhl. Beretepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada-ku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat gilal? “Aku menjawab: “ Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi: “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku: “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata, “ Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “ Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yah hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan Ahmad dan Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih gharib.

e. Berkata Masyayikh (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan), “Dan pendapat inilah lebih kuat baik ditinjau dari sisi dhahir lafadz dalil-dalil yang ada, nadhar (ijtihad) yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu bulan terhadap waktu hari."

4. Pendapat Keempat, bahwa perkara yang demikian dikembalikan kepada waliul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan berdasarkan hisab semata –red-), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya. Dengan demikian kalau dipadati pemerintah suatu negara tertentu tidak berpatokan ketentuan syara’, maka pada kondisi yang demikian tidak boleh diikuti.
Dalil Mereka:

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)

Setelah kami menyebutkan sekian pendapat yang ada, di mana masing-masing membawa dalil dan argumentasi tersendiri, maka berikut kami nukilkan Fatwa Lajnah Da’imah sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam di dalam kitabnya Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, hal. 134-135: Setelah para ulama’ menela’ah permasalahan yang ada, dan mereka melihat beberapa hal, di antaranya:
  1. Bahwa perbedaan mathla’ merupakan perkara telah maklum diketahui baik secara perasaan maupun akal pikiran, dan tidak ada seorangpun yang berselisih dalam masalah ini, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada tidaknya pemberlakuan mathla’ menjadi patokan dalam hal ini.
  2. Masalah perbedaan pemberlakuan mathla’ atau tidaknya, termasuk permasalahan perbedaan pandangan yang dengannya ada ijtihad, dan perselisihan dalam masalah ini tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Sehingga dalam permasalahan ini ulama’-pun berselisih pendapat atas dua pendapat besar (setelah disimpulkan), di antara mereka mengatakan yang menjadi patokan adalah perbedaan mathla’ (masing-masing negara memiliki mathla’ sendiri-sendiri) sementara yang lainnya tidak memandang demikian (mathla’ itu adalah satu)
Mereka menyimpulkan: “Semenjak 14 abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi persatuan ummat Islam dalam satu ru’yah (satu mathla’), maka mereka berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana adanya, dan semestinya masing-masing negara yang penduduknya maryolitas muslim berhak menentukan pilihan melalui para ulama’ mereka dari dua pendapat besar di atas yang menurutnya lebih sesuai karena setiap pendapat memiliki dalil dan sandarannya.

Permasalahannya selain dari perbedaan mathla’ tersebut, untuk memprediksi akankah hilal dapat terlihat melalui rukyat, dibuat lagi sebuah kriteria yang disebut sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal tersebut umumnya diturunkan secara empirik. Saat ini, telah dikenal beragam kriteria visibilitas, seperti kriteria Danjon, kriteria Istambul, kriteria Ilyas, dan lain-lain. Kriteria visibilitas hilal yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (Departemen Agama RI) mensyaratkan tinggi hilal minimal 2 derajat dengan usia Bulan sejak ijtima’ terjadi sekurang-kurangnya 8 jam dan jarak sudut (elongasi) Matahari-Bulan minimal 3 derajat. Karena kalau ditinjau dari sisi kewilayahan saja, ketinggian hilal (di Jakarta) diperkirakan hanya sebesar 0.4 derajat dengan jarak waktu antara terbenam matahari dan terbenam bulan hanya 3 menit 15 detik. kalau ditinjau dari sudut pandang astronomi, ketinggian hilal sebesar ini terlalu tipis untuk bisa dilihat dengan mata telanjang (rata-rata hilal dapat terlihat jika ketinggiannya minimal 5 derajat).

Penampakan Hilal di Wilayah Indonesia Timur dipastikan lebih rendah, dan untuk wilayah Ujung barat Indonesia, akan lebih tinggi, namun tidak akan lebih dari dua derajat. Silahkan cek dengan bantuan software Moon Calculator (MoonCalc)
***

Akhirnya, penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah sebuah permasalahan kecil dari berbagai problematika penting yang sedang dihadapi ummat muslim saat ini. Sesungguhnya bila kita berpikir lebih dalam, hal ini mengisyaratkan agar ummat muslim semakin mengukuhkan ukhuwah dan tidak tercerai-berai oleh perbedaan.
Semoga setiap perpedaan yang muncul semoga menjadi rahmat Illahi bila ditujukan dengan keridhaan Allah semata, bukan pada kepentingan pribadi, golongan atau superioritas nasionalisme kebangsaan belaka. Sehingga perlua ada baiknya diperhitungkan penyamaan penentuan waktu awal Ramadhan & Syawal mengingat kebersatuan ummat seharusnya lebih diperhitungkan.


Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.(Q.S. at-Taubah; 105)

semoga bermanfaat

Sabtu, 19 September 2009

Ekonomi syariah


Economi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalahekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomikoperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadapburuh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca matamerupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.
  • Perbedaan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional